Friday, December 28, 2007

Good Book to Read: “A Thousand Splendid Suns”


A Thousand Splendid Suns, bercerita tentang kehidupan perempuan Timur Tengah dilatari dengan sejarah pergolakan politik yang terjadi di negri padang pasir tersebut. Ceritanya seputar 2 tokoh utama perempuan yang memiliki kepribadian dan latar belakang kehidupan keluarga yang berbeda 180 derajat namun pada titik temu yang tragis harus menjalani kehidupan yang sama persis. Sama-sama mengalami keculasan demi pemuasan nafsu, sama-sama menguras tenaga, cucuran keringat, air mata dan darah untuk menghadapi perlakuan demi perlakuan hina yang bahkan tidak dialami oleh seekor kambing sekalipun.

Alur cerita buku ini mampu membuat pembacanya berganti peran antara Mariam dan Laila, dua tokoh utama perempuan itu, secara smooth. Di satu saat menjadi Mariam, perempuan yang dididik sesuai tradisi kuno, tidak mengenal ilmu pengetahuan, mengalami penginjakan harga diri jauh sebelum ia dilahirkan sebagai harami. Mariam kecil tumbuh dengan keyakinan bahwa hidupnya hanyalah sebuah bentuk dari belas kasihan yang pada akhirnya memiliki imbalan yang hanya bisa dilunasi dengan mengabdi [bahasa sopannya menjadi budak].
Di saat yang lain menjadi Laila, perempuan yang dididik secara moderat dan hidup di lingkungan moderat, namun mengalami titik balik tragis saat untuk menyambung hidupnya ia harus mengabdi, ber’damai’ dengan pandangan kuno yang tidak pernah ia bayangkan akan dialami.

Dari awal, tulisan dalam novel ini sudah mengarahkan pembacanya untuk mulai merasa, melihat dan menjalani kehidupan dari sudut pandang skeptis-sinis seorang perempuan, seperti yang tertuang dalam kalimat, “...seperti jarum kompas yang selalu menunjuk ke utara, telunjuk lelaki pun selalu teracung untuk menuduh perempuan.
Namun secara bijak, tidak menyisakan ruang untuk membenci satu atau dua golongan yang terlibat didalamnya yang juga terwujud nyata dalam kehidupan.
Dan pada akhirnya, buku ini menggambarkan bahwa bagaimanapun, manusia akan menemukan cara untuk bertahan dan melanjutkan kehidupan [there's no need to be a sceptic]. Selalu ada jalan menuju kebaikan. Kuncinya hanya pada cinta. Sebuah kekuatan yang tak pernah padam nyalanya walau badai menerjang tanpa ampun. Sebuah kekuatan yang mampu menggerakkan kedua tangan kecil menyusun batu demi batu setapak itu. Seberat maupun secadas apapun.

Kalau mau jujur, terlepas dari hanya sekedar fiksi dan kesamaan nama maupun peristiwa yang kebetulan belaka, novel ini mampu menuturkan dengan gamblang gejolak emosi yang mengiringi tiap langkah yang dijejakkan di atas kerikil cadas kehidupan.

Latar belakang cerita pun terasa sekali pergerakannya. Bagaimana sebuah negara jatuh dan bangun seiring dengan jatuh bangunnya aneka pimpinan negara tersebut, bagaimana tradisi dan keyakinan yang mendasari kehidupan rakyatnya, semua mengalir dengan alur yang tidak lamban pun tidak membuat pembacanya merasa kurang tergambari.

Buat gw pribadi, buku ini menjadi sebuah adventure yang menyenangkan. Selain bisa mempelajari kehidupan perempuan di Timur Tengah [yang sedikit banyak menghadapi masalah yang sama dengan perempuan manapun di dunia], gw juga bisa mempelajari pergerakan politik yang mengakibatkan pecah perang di negara itu, dan geliat kebangkitannya. Apalagi, selipan ayat-ayat Al-Quran, yang jadi kitab suci agama mayoritas di negara itu, ikut menambah nafas kehidupan buku ini.

Cuma satu yang sedikit menghalangi proses penyelaman dan visualisasi cerita di buku ini buat gw pribadi, banyaknya istilah-istilah dalam bahasa Timur Tengah yang mungkin sepele, tapi membuat gw sulit memvisualisasikannya. Untungnya, bukan sesuatu yang crucial.

Overall, it’s a very good book to read.
Recommended. Period.

-------------------------------------
no.te:

Kenal buku ini gara-gara temen kantor titip beliin pas traveling sekitar agustus kemaren. Carinya gak susah. Begitu masuk toko buku [entah apa namanya, gw lupa], langsung deh tumpukan buku dengan judul itu terpejeng di depan. Iseng-iseng sambil antri bayar, gw baca resensinya dan berniat beli begitu ada terjemahan Indonesianya nanti di Gramedia. Maklum, belum niat menyiksa otak untuk kerja multi-task baca versi aslinya yang cukup tebel itu.

Anyway, kemaren pas nunggu temen di Gramedia, gw mendapatkannya dan gw pun tanpa mikir buat buka-buka display contoh novelnya, langsung nyemplungin buku itu ke tas belanjaan. Lumayan buat ngisi 2 hari sisa liburan.

Satu hal yang bikin gw tertarik pada buku ini pada awalnya adalah pengarangnya.
Pengarang yang satu ini, gw akui pinter mencampur-aduk emosi pembaca plus mampu bikin pembacanya hanyut dalam cerita.
Jujur nih, buku awal pengarang ini baru gw baca awal taon ini, tapi baru kelar gw baca di tengah tahun yang sama. Bukan kenapa, tapi emosi yang dikocok pengarang ini bikin gw terkadang mual sendiri dan memutuskan untuk take a break beberapa saat sebelum menandaskan akhirnya yang bagi gw, menyenangkan. Dalam arti, itulah hidup. People make mistake indeed. Tapi yang membedakan loser dan winner adalah keberanian untuk melakukan kesalahan, mengakuinya dan berbuat sesuatu untuk memperbaikinya.
Dan buku pertama pengarang ini, The Kite Runner, says it all perfectly.

Nah, saat dititipin temen gw itu, gw penasaran, si pengarang itu cerita tentang apa ya?
Dan kemarin, pertanyaan itu terjawab sudah. Bayarannya? Begadang, hehehe.
Gak dipungkirin deh, halaman demi halaman tanpa disadari dilahap perlahan tapi pasti.
Lucunya, walau sudah tandas, gw tetap membaca buku itu kembali untuk 2 hari kemudian.

Berbeda dari buku pertama yang menceritakan kehidupan Timur Tengah dari sudut pandang anak lelaki, kali ini buku kedua mengambil sudut pandang perempuan, dan yang membuat lega adalah pengarang buku ini bisa menerjemahkan perempuan dengan komposisi yang pas, sehingga gw membacanya gak harus mengerutkan kening dan membathin, that’s so-not woman.

Oh, ya... benar sekali, kehidupan perempuan di Timur Tengah memang selalu menjadi topik yang gak ada habisnya dan benar-benar menguras energi dan emosi pembaca.

I’m not saying that I’m a feminist [what the heck is it anyway??] but I must admit I crave women stories.
Satu lagi yang gw suka dari buku ini, mungkin seperti gw bilang di tulisan di atas, adalah tidak menyisakan ruang untuk membenci. At least, saat selesai membaca, satu helaan napas lega tercipta dan emosi yang selama membaca menggerogot hingga mengeringkan sumsum tulang, mendadak menguap di udara menyisakan satu ulas senyum.

Anyway, ini yang gw suka. Sebuah cerita yang bisa gw bilang men’didik’.
Kebanyakan cerita yang gw temukan dan bertema gelap hanya melulu menekankan pada penyebab lampu itu mati dan kehidupan tanpa cahaya yang menyesakkan. Sibuk menyalahkannya dan bergelimang dalam penderitaan, tanpa satu usaha untuk menyalakan kembali lampu itu. Sendiri.
Memang, emosi yang diciptakan lebih mengoyak, lebih pedih, lebih menyayat.
Tapi hanya itu saja yang didapat: Emosi yang menyayat.
And I’d say, it’s a waste.

Beruntung, gw memutuskan untuk membeli edisi terjemahan Indonesianya tanpa mikir dua kali saat itu. Well, setidaknya, akhir liburan panjang kali ini menyisakan satu arti tersendiri buat gw, hehehe.

______________________________________

[on-ears] incubus – make yourself
...sekalian merayakan keputusan Incubus untuk manggung di jakarta bulan Maret 2008 nanti. Can’t hardly wait!! Semoga semua berjalan lancar dan gak ada kata-kata “cancelled” atau “rescheduled”, Amen...