Friday, February 29, 2008

Liberation in Music

Bicara soal musik, gw emang bukan orang yang tepat untuk membicarakannya dalam konteks musikalitas. Maklum, gw gak terlahir dengan bakat memainkan biola atau seruling bambu sekalipun, bahkan gw buta notasi apapun itu jenisnya. Intinya, gw buta ilmu kesenian deh. Gw sendiri bertanya-tanya kenapa seumur hidup, nilai kesenian gw selalu diatas rata-rata, apakah ini ada sangkut pautnya dengan keahlian utama gw yaitu.... ngolong saat ujian?

Well, anyway gak mau ngomongin soal ujian ato cara mencontek saat ujian (karena nanti dimarahin mama ^_^) toh judulnya aja bukan “tips mencontek ujian kesenian”, tapi soal kebebasan dalam bermusik.

Sebenernya judul ini (ato topik ini ya?) gw dapat dari salah satu situs yang jadi sponsor utama konser Incubus di Jakarta. Seharusnya sih, gw submit buat menangin satu tiket gratis, tapi permasalahannya, itu tiket gratis mau buat paan (kalo gw dapet) karena toh dapet gak dapet, gw udah beli tiketnya gitu looh, kecuali kalo kuis itu menangin “sehari bersama Incubus” atau “liburan bareng Incubus di Hawaii” atau “liburan dan belajar surfing bareng Incubus” (haaa, makin gak jelas kemana arah tulisan gw)

Gw tergoda menulis sesuatu bertopik ini berdasarkan pengalaman keseharian gw. Seperti gw sebut diatas sebelumnya, gw buta segala sesuatu yang menyangkut musikalitas. Simply gw hanya bisa menikmati dan menghayati musik lewat perasaan, ciiiheee..
Tapi toh kebebasan bermusik kan tidak hanya diukur dari penciptaan sebuah warna musik baru yang melenceng dari kata mainstream ato komersialitas, bukan?
Kebebasan bermusik juga bisa diukur dari kebebasan untuk memilih musik yang didengar tanpa dipengaruhi apapun bukan?

Nah, itulah yang mau gw ceritain disini.
Jujur, gw ini penyuka musik. Bisa digolongkan ke maniak deh. Gak ada satu hari (atau menit?) dalam hidup gw yang dilewati tanpa musik. Untungnya, gw termasuk orang yang bisa mendengar semua jenis musik. Walau pada akhirnya, pilihan gw jatuh ke aliran musik rock (anykind of it!!) untuk diputar ulang berkali-kali tanpa menimbulkan iritasi atau gangguan kesehatan lainnya seperti mual atau hilangnya kesadaran maupun gangguan mental, hehe.

Tapi lucunya, kecintaan gw pada musik aliran begini banyak diprotes orang. Dari temen SMA, temen kuliah, sampe temen kantor. Mereka gak tahan sama musik yang gw denger. Padahal, kalo dipikir-pikir, gw belom pernah nyetel musik rock yang aneh di sekitar mereka. Cukup yang masih easy listening aja yang gw sebar. Walau gitu, tetep mereka memprotes dan bilang, “musik aneh” ato “musik orang gila”.

Ya sudah, biar berdamai, gw menyumpal kedua telinga gw dengan dua bantalan bulat besar yang siap mentransferkan alunan musik pelancar jalur transmisi mood itu ke telinga gw. Akibatnya memang cukup membahayakan, karena gw jadi ‘budek’ lingkungan, gak pernah notice apa yang lagi terjadi di sekeliling gw, apalagi di kantor yang notabene selama 8 jam duo bundaran berwarna krem itu mampetin kedua telinga gw secara sempurna. Alhasil, hanya ada satu cara untuk menarik perhatian gw.... melalui kedipan merah di badan si kotak integrated telephone system yang sengaja gw simpen tepat disamping keyboard komputer (maaf menyusahkan... saya hanya menghargai telinga ringkih kalian, teman-temanku... ^_~). Untungnya, bos lumayan pengertian (ato terpaksa?hehe)

Anyway, protesan mereka tentang kecintaan gw akan musik rock rupanya tak kunjung juga padam, walau gw udah membuatnya se-discreet mungkin dari mereka. Mereka bilang, musik gw itu gak sesuai dengan usia gw yang hampir diujung kepala 2, ditambah lagi dengan dihubung-hubungkannya aliran musik dengan usia, kedewasaan dan jenis kelamin.
Aiiih...
Baru banget gw tau kalo musik itu kenal demografi sensus, apa dia termasuk petugas sensus juga ya?
Maksud gw, gw baru tau kalo musik itu bergantung pada usia, SARA dan jenis kelamin. Sejak kapankah ini terjadi? Bukankah musik itu menganut paham kebebasan?

Apakah pendengar jazz adalah orang yang berstatus mature? Atau apakah saat menginjak usia 30 itu sudah berarti putus hubungan dengan dunia musik rock?
Entahlah, tapi gw belum menemukan teori yang berkata begitu. Mungkin kalo ada yang punya landasan teorinya, bisalah dikirimkan via japri, hehehe.

What i’m trying to say here is whatever music you like, don’t bother what age you are at atau jenis kelamin yang kalian anut (anut?? whatever...).

Kebebasan bermusik pun mencakup pemilihan jenis musik yang diminati, seaneh apapun itu, terlepas dari faktor usia, jenis kelamin, maupun SARA.
Percayalah, tidak semua orang yang cerdas dan berIQ tinggi hanya melulu berhubungan intim dengan denting piano ala Chopin (eeh, dia pianist kaan?? ^_^). Sedikit pompaan adrenalin dari Incubus maupun System of A Down juga perlu untuk menggiatkan kerja otak bukan?
Toh pada kenyataannya, musik itu bebas dan universal kok...

Dan gw pun punya teori lain yang cukup akurat tentang musik rock,
Rock music surely keeps an aging away... (haaa!!!)

cheers!!!!

___________________________________
disela-sela kegirangan gw saat seorang teman baik mendadak nelpon dari sebuah toko musik yang terletak entah disudut Canberra belah mana, hanya untuk nanyain, “DVD Incubus yang lu mau yang mana aja?”
aiiih.... syenangnyaaaaa!!!!! It’s gonna be a gr8 b’day gift, tengkyu ya say..

Tuesday, February 26, 2008

Harry Potter: dan imajinasi pun terbang bersama sapu


Akhirnya serial yang sukses membuat gw terpaku padanya selama tujuh tahun terakhir ini, tamat sudah, dan sukses besar meninggalkan rasa campur aduk dalam diri gw. Bahkan setelah lewat satu bulan dari masa tamatnya gw membaca buku terakhir dari serial itu.

Kembali, gw mengupas ulang serial itu. Namun kali ini, dari buku pertama hingga terakhir, menyambung tanpa terputus satu tahun. Hasilnya? Ternyata memang berbeda. Alunan dan tautan dari scene per scene lebih terasa hubungannya. Membuat gw akhirnya mengangguk dengan bagian epilog di buku terakhir. Dulu, waktu keluar edisi bahasa inggrisnya, gw cukup kecewa dengan akhir yang obvious. Tapi saat melakukan penelaahan (aiih) ulang, gw pun berdamai dengan bagian itu.
Harus gw akui, kalo pada akhirnya, “it’s a storybook of children” anyway. Dalam arti, mau sekompleks apapun alur ceritanya, tetap ditujukan untuk anak-anak. Lain cerita, kalau judulnya mungkin “Severus Snape” (salah satu karakter dalam buku tersebut). Tapi yang harus digarisbawahi, it’s not just an ordinary storybook of children. It does brings something different.

Yang menarik dari dunia Harry Potter (selain alur ceritanya) adalah imajinasi yang melatarbelakangi cerita. Bagai sapu terbang yang mengayunkan imajinasi pembaca setinggi-tingginya. Salut sekali pada pengarangnya. Begitu detil dalam mengolah imajinasi. Begitu berani membiarkannya terbang bebas menyusuri daerah yang belum pernah terjamah. Flawless.

Mungkin beberapa orang mengernyitkan kening sewaktu mereka membaca (at least) resensi buku ini, lalu bersungut-sungut dan berkomentar, “buku aneh”. Tapi buat yang menghargai dunia imajinasi, tentu akan menikmatinya. Lagi dan lagi.
Gw termasuk orang yang cukup menghargai imajinasi. Senang berkhayal kalo boleh disederhanakan. Dan gw cukup beruntung mendapatkan serial ini, benar-benar membawa terbang imajinasi begitu tinggi.

Tapi yang patut diacungin jempol, cerita ini gak semata-mata mengumbar imajinasi. Tapi pesan moral yang tersirat dalam buku itu begitu berlimpah. Bukan hanya untuk kalangan anak-anak (seperti kebanyakan cerita HC Andersen), tapi juga pesan moral buat orang dewasa (orang tua) yang membacanya.
Dialog demi dialog mengalir pelan namun kontinu bagai mata air pegunungan yang tak pernah kering. Belum lagi ditambah dengan penggambaran setting dan karakter yang berkecamuk didalamnya.
Terkadang, walau sudah tertebak akhirnya seperti apa, jalan menuju akhir itu yang tak terduga dan membuat pembaca membatin, “sialaaan!” (baca: amazed).

Intinya, serial Harry Potter tidak hanya menawarkan limpahan imajinasi, tapi juga pembelajaran baik tentang moral maupun arti dewasa. Suits the kids yet fits the oldster.

Serial ini juga makin membuat gw membiarkan sisi kanak-kanak dalam diri gw tetap ada, tersimpan di satu sisi dan terus gw pupuk biar tetap tumbuh subur. Dan gw pun bebas mengunjunginya kapan pun gw mau.

Somehow, there’s always a child in one’s self. Bukan begitu??

_______________________________
kalo ditanya tokoh yang paling gw suka dalam serial Harry Potter, tentu orangnya adalah The Weasley Twins. Hehehe. Yup! Fred dan George Weasley. Duo badung yang bikin serial ini makin ‘hidup’. Kalo gak ada mereka berdua, Harry Potter is just another boring book, makanya gw khatam deh tiap scene mereka (untung di filmnya, tokoh mereka gak salah pilih, hehehe). Secara gak langsung, kehadiran dua orang ini emang bikin alur ceritanya lebih menyentuh dunia nyata.
Namun, kalo ditanya tokoh yang paling ‘real’, jawabannya adalah adik laki-laki si kembar Weasley itu, Ronald Weasley. He is the most real character.
Komentar tentang film-nya? Menurut gw yang paling mendekati buku hanya harry potter I dan II, selain ceritanya yang gak banyak hilang dan bikin ‘kesasar’, pemeran Albus Dumbledore-nya lebih mendekati dari sisi fisik maupun karakter, beda sama pemeran yang baru.
Memang, sedikit sulit untuk memvisualisasikan sebuah imajinasi dalam rentang waktu singkat.