Tuesday, February 26, 2008

Harry Potter: dan imajinasi pun terbang bersama sapu


Akhirnya serial yang sukses membuat gw terpaku padanya selama tujuh tahun terakhir ini, tamat sudah, dan sukses besar meninggalkan rasa campur aduk dalam diri gw. Bahkan setelah lewat satu bulan dari masa tamatnya gw membaca buku terakhir dari serial itu.

Kembali, gw mengupas ulang serial itu. Namun kali ini, dari buku pertama hingga terakhir, menyambung tanpa terputus satu tahun. Hasilnya? Ternyata memang berbeda. Alunan dan tautan dari scene per scene lebih terasa hubungannya. Membuat gw akhirnya mengangguk dengan bagian epilog di buku terakhir. Dulu, waktu keluar edisi bahasa inggrisnya, gw cukup kecewa dengan akhir yang obvious. Tapi saat melakukan penelaahan (aiih) ulang, gw pun berdamai dengan bagian itu.
Harus gw akui, kalo pada akhirnya, “it’s a storybook of children” anyway. Dalam arti, mau sekompleks apapun alur ceritanya, tetap ditujukan untuk anak-anak. Lain cerita, kalau judulnya mungkin “Severus Snape” (salah satu karakter dalam buku tersebut). Tapi yang harus digarisbawahi, it’s not just an ordinary storybook of children. It does brings something different.

Yang menarik dari dunia Harry Potter (selain alur ceritanya) adalah imajinasi yang melatarbelakangi cerita. Bagai sapu terbang yang mengayunkan imajinasi pembaca setinggi-tingginya. Salut sekali pada pengarangnya. Begitu detil dalam mengolah imajinasi. Begitu berani membiarkannya terbang bebas menyusuri daerah yang belum pernah terjamah. Flawless.

Mungkin beberapa orang mengernyitkan kening sewaktu mereka membaca (at least) resensi buku ini, lalu bersungut-sungut dan berkomentar, “buku aneh”. Tapi buat yang menghargai dunia imajinasi, tentu akan menikmatinya. Lagi dan lagi.
Gw termasuk orang yang cukup menghargai imajinasi. Senang berkhayal kalo boleh disederhanakan. Dan gw cukup beruntung mendapatkan serial ini, benar-benar membawa terbang imajinasi begitu tinggi.

Tapi yang patut diacungin jempol, cerita ini gak semata-mata mengumbar imajinasi. Tapi pesan moral yang tersirat dalam buku itu begitu berlimpah. Bukan hanya untuk kalangan anak-anak (seperti kebanyakan cerita HC Andersen), tapi juga pesan moral buat orang dewasa (orang tua) yang membacanya.
Dialog demi dialog mengalir pelan namun kontinu bagai mata air pegunungan yang tak pernah kering. Belum lagi ditambah dengan penggambaran setting dan karakter yang berkecamuk didalamnya.
Terkadang, walau sudah tertebak akhirnya seperti apa, jalan menuju akhir itu yang tak terduga dan membuat pembaca membatin, “sialaaan!” (baca: amazed).

Intinya, serial Harry Potter tidak hanya menawarkan limpahan imajinasi, tapi juga pembelajaran baik tentang moral maupun arti dewasa. Suits the kids yet fits the oldster.

Serial ini juga makin membuat gw membiarkan sisi kanak-kanak dalam diri gw tetap ada, tersimpan di satu sisi dan terus gw pupuk biar tetap tumbuh subur. Dan gw pun bebas mengunjunginya kapan pun gw mau.

Somehow, there’s always a child in one’s self. Bukan begitu??

_______________________________
kalo ditanya tokoh yang paling gw suka dalam serial Harry Potter, tentu orangnya adalah The Weasley Twins. Hehehe. Yup! Fred dan George Weasley. Duo badung yang bikin serial ini makin ‘hidup’. Kalo gak ada mereka berdua, Harry Potter is just another boring book, makanya gw khatam deh tiap scene mereka (untung di filmnya, tokoh mereka gak salah pilih, hehehe). Secara gak langsung, kehadiran dua orang ini emang bikin alur ceritanya lebih menyentuh dunia nyata.
Namun, kalo ditanya tokoh yang paling ‘real’, jawabannya adalah adik laki-laki si kembar Weasley itu, Ronald Weasley. He is the most real character.
Komentar tentang film-nya? Menurut gw yang paling mendekati buku hanya harry potter I dan II, selain ceritanya yang gak banyak hilang dan bikin ‘kesasar’, pemeran Albus Dumbledore-nya lebih mendekati dari sisi fisik maupun karakter, beda sama pemeran yang baru.
Memang, sedikit sulit untuk memvisualisasikan sebuah imajinasi dalam rentang waktu singkat.

No comments:

Post a Comment