Friday, June 13, 2008

cuplikan singkat


Matahari yang mulai meninggi, memancarkan sinar yang begitu menghangatkan hingga menembus relung hati. Tak banyak awan putih yang berarak, membuat langit terlihat begitu biru.
“Gue masih inget, dulu, rumah gue gak punya taman yang luas, tapi di belakang rumah, ada sebuah pohon oak yang sangat besar.”

Rigel menoleh, sedikit menunduk menatap Shaula yang tengah terbaring di atas hamparan rumput hijau dan memandang langit biru dengan mata yang menerawang jauh.

“Nyokap ngebikinin rumah pohon, tapi tanpa atap. Hanya lempengan-lempengan kayu di atas dahan pohon yang kuat.” Shaula mengisi penuh-penuh relung paru-parunya. “Setiap musim panas datang, gue selalu meluangkan waktu di tempat itu. Hanya berbaring, menatap langit. Entah itu pagi, siang, sore atau malam sekalipun gue selalu menikmati langit di tempat itu, dan nyokap akan dengan senang hati menemani. Entah itu sambil membacakan cerita, bekerja, atau bahkan merajutkan syal.” Shaula membelai lembut syal rajutan biru navy yang membungkus lehernya. Syal itu sudah sangat tua dan usang, namun tetap terasa hangat.

Rigel menatap langit kembali, berusaha menyembunyikan ribuan rasa yang kini menyerbu dadanya. Apakah ini…

“Dari dulu, gue selalu menatap langit dan selalu berharap kalau gue dilahirin kembali, gue bakal jadi elang. Bebas mengepakkan sayap kemana pun gue mau. Tapi, gue gak pernah ngebayangin rasanya terbang,” Shaula tersenyum tipis. “Sekarang, gue gak bakal takut lagi.”

Rigel mengerutkan kening dan menoleh, “maksudnya?”

Shaula tersenyum, membalas tatapan Rigel sekilas, lalu memandang puas pada benda yang kini melayang membelah langit, “karena gue udah tahu rasanya terbang. Jadi, kalo saat itu tiba, gue gak perlu takut untuk mengepakkan sayap.”

Rigel menatap benda yang melintas di atas kepala mereka.

“Walau cuma paralayang, tapi seenggaknya, gue udah tahu aroma langit, sensasi angin yang menerpa wajah dan gak akan ragu untuk mengepakkan sayap.”

Jantung Rigel seakan berhenti saat sebuah pelukan membungkusnya lemah dari belakang. “Makasih ya,” bisik suara itu lembut.
Rigel memejamkan kedua matanya, mencoba melawan semua rasa yang siap pecah berhamburan. “Jangan pikir gue bakal ngelakuin itu lagi ya!” ancamnya tiba-tiba, mengenyahkan perasaan sakit yang menyayat hatinya.

Shaula terkikik geli dan menjauhkan dirinya dari tubuh Rigel. Laki-laki itu bangkit dan menebuk-nepuk bagian belakang jeans hitamnya.
“Ayo cepet! Kita harus balik. Jangan-jangan bokap loe udah nyiapin gilda lagi buat motong leher gue.”

Shaula tak segera mengulurkan tangannya. Ia kembali membaringkan tubuh, menatap langit. “Apa hidup dalam sangkar bisa dibilang hidup?”

Rigel tercekat seketika.

@ sneakpeek to the story of shaula, written by poetriij, sumwhen between the end 0f 2003 until the middle of 2004 @
___________________________________

sedikit bernostalgia sama sebuah ‘proyek’ yang sempet gw kerjakan, dan dengan bodohnya, sudah hampir 4 tahun berselang, namun ‘proyek’ ini belum juga kelar. malahan, di kepala gw udah bergumul ‘proyek-proyek’ lain yang tak kalah membaranya (at least, to me).

Damn! I need to find a great time, place and moment to pour myself into it (or them?) or else… these projects won’t even finished. Not even a single one.

Aaarrrggghh…..
Pengen deh, punya seluruh waktu di dunia ini untuk merampungkan ‘proyek’2 itu tanpa sedikit pun gangguan. Well, in that case, I think I have to make myself dissapear to the unknown.

Siigghh….

No comments:

Post a Comment