Thursday, July 06, 2006

inginku

So sad…so sad…
why can’t we talk this over
always seems to me,
sorry seems to be the hardest words.

Volume stereo set mobilku bertambah. Salah satu guilty pleasure terbesar dalam hidupku adalah hapal seluruh kata-kata dalam lirik lagu yang dinyanyikan oleh boyband manapun. Jujur, aku bukan penyuka lagu-lagu mellow ato easy listening yang kerap dibawakan dengan harmonisasi suara pas-pasan namun tampang supermodel tipikal boyband. Tapi entah bagaimana atau mengapa, aku pasti hapal setiap kata dari lirik lagu boyband yang manapun. Dari era New Kidz On the Block hingga Westlife dan Blue.

Kadang aku menyalahkan radio tempatku bekerja yang karena memenuhi tuntutan pasar harus memutarkan lagu-lagu model begitu setiap jam siarannya, menjadikan satu lagu hits bisa diputar minimal 5 kali dalam satu hari selama sekian minggu, paling sebentar pun sebulanan. Tapi kalau dipikir-pikir, memang karena lagunya yang easy listening dengan konteks percintaan yang mudah ditebaklah yang membuat kata demi kata dalam lirik lagu-lagu boyband mudah dihapal. Bukankah begitu?

Aku memejamkan sejenak kedua mata ini dan menyandarkan punggung, saat lampu lalu lintas menyala merah, memberi kesempatan bagiku untuk menenangkan diri. Hanya sekian menit, karena lampu sudah kembali menyala hijau.

Sorry seems to be the hardest words.

Hmm… diam-diam aku membenarkan kalimat itu. Untuk mengucapkan kata 'maaf', itu sangat mudah. Ambillah contoh, saat kau menabrak seseorang secara tak sengaja, bertubrukan tepatnya. Tanpa berpikir panjang, akan terlontar kata singkat “sorry” dari mulutmu, lalu tanpa benar-benar memperhatikan si korban, kita akan meninggalkannya, karena berpikir toh tabrakan kecil, tidak menimbulkan korban jiwa. Padahal, kecil atau besarnya dampak sebuah kecelakaan kan yang merasakan si korban bukan?

Mengucapkan kata 'maaf' dari hati yang paling dalam, bersungguh-sungguh atas kata 'maaf' itu, dan bertanggung jawab dengan tidak melakukannya, kurasa itu adalah satu tugas yang sangat teramat sulit untuk dilakukan.

Aku jadi teringat perayaan Idul Fitri, dimana setiap orang berlomba-lomba mengajukan permohonan maaf melalui sms pada banyak orang dengan untaian kata yang indah dan menyentuh. Mendadak semua orang jadi begitu puitis. Tapi yang jadi pertanyaan, apakah mereka memahami konteks permohonan maaf itu sendiri? Apakah kalimat-kalimat indah yang mereka kirimkan ke seluruh penjuru dunia juga sudah menyentuh hatinya? Membuat mereka menyadari kesalahan demi kesalahan yang telah dibuat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi?

Kurasa hanya segelintir orang yang mampu memahami arti kata maaf itu sendiri. Segelintir orang yang bahkan saat melakukan satu kesalahan, akan merasa tidak tenang dihantui bayang-bayang akibat yang ditimbulkan oleh kesalahannya itu.

Tapi… di lain pihak, memaafkan pun sama sulitnya.
Forgiven but not forgotten. Begitu istilahnya.

Padahal, bila bisa memaafkan, seharusnya juga bisa melupakannya. Setidaknya, tidak mengungkit-ungkit luka lama yang menimbulkan luka berkepanjangan. Saat kau sudah mampu memaafkan, maka saat itu juga artinya kau mampu membakar lembaran penuh tinta hitam itu dan memulainya dengan lembaran baru yang masih putih bersih, siap digoreskan dengan tinta aneka warna.

Akan terasa sakit bila kita terpaksa memaafkan, tapi sebenarnya kita belum mau melakukannya. Kita akan tersiksa dengan perasaan bersalah karena belum ikhlas. Tapi, di lain sisi, kita juga berdosa karena tidak memaafkan. Analoginya, Tuhan saja mau menerima tobat dari umatnya, masa’ kita yang gak ada apa-apanya dibanding Tuhan malah angkuh dan tidak mau memaafkan?

Tapi mungkin benar, kalau kita tetap membutuhkan waktu untuk memikirkan banyak hal setelah sebuah kesalahan terjadi. waktu untuk si pelaku menyadari apa yang salah dan akhirnya mengaku lalu meminta maaf dan tidak mengulanginya lagi (secara sungguh-sungguh, maksudku). Waktu juga bagi si korban untuk mendinginkan kepala dan hati, mencoba memahami mengapa kejadian ini bisa terjadi dan menimpanya.

Hmm… kurasa, itulah yang sedang aku alami saat ini.

Tapi jujur saja, aku tetap tidak menemukan benang merah dari semua kejadian ini. sejujurnya, untuk bertemu salah satu dari kedua manusia sumber kekacauan ini, aku masih belum sanggup. Aku takut, kemarahan ini tak terbendung dan meledak bagai bom waktu.

Dan ternyata, hal itu memang terjadi bukan? Sekarang, aku merasa tersiksa merasakan efek yang ditimbulkan. Seakan seluruh rasa dan emosi yang kumiliki hilang dalam seketika.

Apakah aku menyesalinya? Entahlah…

Satu putaran membawaku semakin mendekati bangunan itu. Akankah hati ini tenang saat semua terpetakan di depan kedua mata?

@cukilan dari salah satu episode dalam sebuah dongeng "Kanna" (the unpublished story written by me).

__________________________________

kemarin terpaksa mengurung diri di rumah, karena rasa sakit yang tak kunjung mereda. tanpa disadari, merasa begitu rindu untuk menulis, lalu kembali membuka file penuh coretan kata-kata yang tak pernah terselesaikan. salah satunya adalah dongeng ini. dibuat pada suatu ketika di suatu zaman, saat seluruh jiwa ini bersatu harmonis menimbulkan 'mood' yang bagus.

kapankah dongeng-dongeng itu akan terselesaikan? seakan ide demi ide dalam kepala ini sudah saling bertubrukan saking kepenuhan dan butuh jalan keluar, namun tubuh ini begitu malas berkompromi.

ingin punya banyak waktu untuk menulis.
ingin berada di tempat nyaman untuk menulis.
ingin bicara dengan begitu banyak orang untuk menulis.

ingin dan ingin....
oh, inginku.

No comments:

Post a Comment