Monday, April 16, 2007

shortstory: "memory kehidupan"

Tlak…kltik…kltek…

Telinga Kei menangkap bunyi-bunyian konstan yang terirama dalam kecepatan memburu. Cukup membuat perhatiannya pada pertarungan seru si Super dan Elang Merah sedikit teralihkan.
Perlahan, ia menurunkan sedikit komik di depan wajahnya, memandangi sosok dihadapannya. Sosok yang terlihat begitu hanyut dan terpaku pada satu objek tanpa mengindahkan apa yang terjadi disekitar.

Kei tersenyum tipis dan memutuskan untuk menutup komik itu pada halaman dimana Super jatuh tersungkur. Sekilas, ia menebar pandangan keluar jendela besar yang membatasi dirinya dengan dunia luar.

Entah sudah berapa lama mereka duduk disini. Saling berhadapan. Tenggelam dalam diam dan dunia soliter yang diciptakan mereka berdua. Ia dalam tumpukan komiknya dan sosok dihadapannya, tenggelam dalam keasyikannya menarikan jemari-jemari nan lentik di atas keyboard notebook putih itu.

“Hmm…”

Gumaman Kei sukses membuat kepala kecil itu menengadah. Namun semata-mata itu juga dikarenakan pemilik kepala tengah menghentikan tarian jemarinya, menunggu ide kembali mengucur ke dalam kepala.

“Nande gozaru ka?”
Kei tersenyum geli mendengar komentar dalam bahasa Jepang yang dilontarkan perempuan itu. Artinya kira-kira kenapa sih?
“Iie,” sahutnya juga dalam bahasa Jepang yang berarti tidak. “Hanya sedikit menikmati moment ini.”
“Ehm?” perempuan itu sedikit memiringkan kepalanya dan mengerutkan kening. Herannya, saat perempuan di usianya sibuk mengurangi kerutan, perempuan yang satu ini malah tak ambil pusing.
“Sadar gak sih Kan? Kalo kita sering melakukan ini berdua?” Kei menatap lekat-lekat perempuan itu. “Elu dengan notebook elu dan gue dengan tumpukan komik gue? Berada di satu pojokan dan hanyut dalam dunia masing-masing?”
“He? Serius lo?!” Kanna pura-pura terkejut dengan kenyataan itu.
“Kanna… serius nih!” gerutu Kei kesal.
Perempuan bernama Kanna itu terkikik geli dan mengulurkan tangan kurusnya meraih mug hitam berisi cairan yang juga berwarna hitam. “Lalu? Itu masalah buat elu?”
Kei mendengus geli dan menggeleng, “bukan gitu. Lucu aja. Kayaknya, sejak gue pindah ke sini, kebiasaan gue banyak yang berubah tanpa gue sadari.”
“Ehm?” Kanna kembali menelengkan kepalanya. “Sou na?!?!” teriaknya yang berarti kira-kira nggak mungkin!
“He?!” Kei terkejut dengan reaksi Kanna.
“Kebiasaan mana yang berubah?! Numpukin baju kotor di keranjang sampe penuh?! Pake jeans yang sama hampir sebulanan tanpa dicuci?! Ngeberantakin koleksi DVD gue terus gak dibalikin ke tempatnya lagi?! Ngabisin isi kulkas gue tanpa ngisi balik? Ato…”
“Iya!! Iya!! Iya!!!!” sergah Kei cepat sebelum daftar itu memanjang dan membuatnya ditendang keluar.
“Huuh, baru satu kebiasaan aja udah berasa seluruh idup lo yang berubah!” Kanna bangkit menuju dapur dan kembali mengisi mug dengan cairan hitam. Setelah itu, kembali duduk di tempatnya tadi.
Kei mendengus kesal, “tau gak sih kita nih aneh!”
“Hmh??” Kanna menaikkan satu alis menatapnya heran lalu meledaklah tawa renyahnya. Tawa bebas yang menggelegar.
“Sama-sama single, tinggal seatap…”
“Gak punya hubungan darah, gak niat menggabungkan darah,” sambar Kanna menambahkan.
“Kadang-kadang satu kamar,” tambah Kei bersemangat.
“Kadang-kadang satu kasur!” balas Kanna tak mau kalah.
“Tapi gak berhubungan intim,” Kei mengerutkan kening dan mengusap-usap dagunya.
“Dan gak berniat untuk itu!” pekik Kanna geli membayangkan kalo itu sampai terjadi.
“Hem… sedikit sentuhan boleh lah,” Kei menyeringai licik.
“E-hem,” akur Kanna manggut-manggut. “Well, lumayanlah biar keliatan laku.”
Sedetik kemudian, mereka terdiam, saling bertatap dan… DUAAARRR!!!
Gelak tawa kembali membahana. Kali ini, tidak hanya suara melengking tinggi yang terdengar.
“Kita ini menyedihkan ato aneh sih tepatnya?” Kei mencondongkan tubuh mengamati Kanna.
“Dua duanya!” sahut Kanna geli. “Aneh yang menyedihkan!”
Kei terbahak geli mendengar istilah yang dicetuskan Kanna.
“Hm…” Kanna mendadak memiringkan kepalanya dan mengelus-elus dagu, seakan mendapat sebuah pencerahan. “Ide bagus buat bikin pidato hari kematian lo!”
“Uhuk…Uhukk!!!” Kei mendadak terkena serangan batuk yang menyedak. Untung ia belum meneguk kopi hitamnya. Ia menatap Kanna membelalak, sementara yang ditatap hanya membalas dengan tatapan tak bersalah.
“APPPAA?!?!”
Kanna kembali mengerutkan kening, “apanya?!”
Kei mendengus kesal dan meneguk pelan kopinya. Berharap saat itu Kanna tidak kembali membuat tenggorokannya sakit dengan gagasan yang menakutkan.
“Apa salah?” balas Kanna bertanya. “Toh itu lumrah dilakukan bukan?”
“Iya Kan…” desah Kei. “Tapi ntar kali kalo gue udah mati! Kok lu ngerencanainnya sekarang sih?!”
Kanna menatap Kei tak percaya. “Apa?! Kenapa enggak?!”
Kini, giliran Kei yang menatap perempuan dihadapannya tak percaya.
“Diumuminnya memang entar kalo loe udah mati. Tapi what’s the point of it sih?!” Kanna mulai menunjukkan indikasi akan berdebat. Kalau sudah begini, Kei harus bersiap untuk kalah. Somehow, Kanna selalu benar. Atau terdengar benar?
“Pidato kematian itu ditujukan untuk membeberkan seluruh kenangan yang dimiliki atas si Mati itu bukan? Dibacakan kepada seluruh penjuru dunia saat pemakaman si Mati. Semua orang mendengarkan, semua orang menyetujui, tapi si Mati tidak mengetahui itu! Menyedihkan bukaaann?!?!” Nada suara Kanna sudah meninggi, itu artinya percuma untuk menyela. Jadi Kei hanya diam mendengarkan, mengamati dan diam-diam mengagumi kemampuan perempuan dihadapannya untuk bersilat lidah.
Apakah perempuan diciptakan dengan keahlian kungfu seperti ini? Sepertinya bersilat lidah yang dimaksud, tidak hanya secara kiasan, tapi juga harfiah.
Kei tersenyum tipis berusaha untuk tidak menampilkan kenyataan bahwa saat ini, dirinya sedikit hanyut dalam aliran lain.

“Jadi menurut gue akan lebih adil kalo si Mati tau apa yang dirasakan si Hidup Yang Ia Tinggal soal peran dia selama dia masih hidup. Bukankah begitu?! Setidaknya, si Mati bisa mati dengan tenang karena ia tau sudah memberi arti dalam hidup orang lain! Itu juga yang selalu jadi masalah hidup bukan?! Pertanyaan apakah kita cukup berarti at least bagi orang terdekat! Karena pada dasarnya, manusia itu ingin punya arti!” Kanna mengatur napasnya yang terengah-engah. Tak pernah peduli dengan persediaan napas di kantong paru-parunya selama isi kepalanya belum tertumpahkan dengan sempurna.
Begitulah Kanna. Akan rela kehabisan napas, rela memutar otak menyusun ribuan kata untuk mendukung pandangannya dan pada akhir yang mengherankan, akan terdengar masuk akal.

“Jadi, gue sedang menyusun itu!” seru Kanna menutup pidatonya dengan berita lain yang mengejutkan.
Kini, Kei benar-benar melongo. Sementara Kanna membalas dengan senyum lebar penuh kemenangan.
“Maksud loe? Elu seharian ini sibuk ngetik pidato kematian gue?!” Kei bergidik ngeri menghadapi keanehan perempuan itu.
Kanna mengangguk penuh semangat. “Gak cuma elo. Sierra dan yang lain juga!”
“Ehm…gini Kan, gw ngerti maksud elo, dan ngehargain niat baek elo, tapi…”
“Kalo soal wajar gak wajar, loe sendiri kan udah menyetujui istilah tepat untuk kita itu!” Kanna bersikeras dengan pendapatnya dengan kembali meluncurkan mekanisasi rasionalisasi kegemarannya. “Kita itu aneh yang menyedihkan!!”
Dan Kei berhenti disitu. Speechless.
“Suatu saat, sebelom loe mati, loe akan membacanya dan gue akan membawakannya dalam pidato di hari upacara pemakaman loe nanti.”
Kei hendak berargumen banyak dalam kalimat itu, hanya ia memutuskan untuk tidak melontarkan apapun. Itu hanya akan menambah masalah dan membuat kepalanya pening mendengar petasan merepetkan ribuan jenis dan bentuk kata.
Ia memilih kembali menekuri komiknya. “Maa, do what you want lah.”
Kanna tersenyum lebar dan kembali menekuri layar notebooknya.
“Oiya…makan siang pesen ke Ahong mau gak?” cetus Kanna sekilas menghentikan ketekunannya dan menatap Kei lekat-lekat.
Kei mendengus. Ia tahu maksudnya apa.
“Iye, gw pesenin deh!” Kei bangkit menuju batang hitam yang tergeletak begitu saja di atas sofa. Ia beralih menghempaskan tubuh di bantalan empuk nan nyaman itu.
“Nasi goreng ikan asin yang pedes banget yaa!!!” teriak Kanna tanpa mengalihkan pandangan dari layar notebook. “ekstra cengek plus ekstra bawang daun!”
Kei mencibir dalam hati saat menekan nomor yang dituju. “Pastikan pidato bagian gue gak mengecewakan!”
Kanna mengacungkan jempol kirinya, tanda menyetujui hal itu dan Kei hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala sebelum membalas sapaan customer service di seberang.
_____________________
sneak peak of ‘delapan penjuru

© 2006 written by np

No comments:

Post a Comment