Wednesday, November 15, 2006

a call


sekelumit percakapan di suatu malam beberapa waktu silam (terlalu silam hingga lupa tepatnya kapan):

pren (P): “gw gak tau gimana ngegambarin perasaan gw. maksud gw, kenapa harus sekarang? Kenapa harus dia yang pergi?”
me (M): “karna kalo gak gitu, gak akan terjadi bukan?”
P: “iya, gw tau! Tp maksud gw, kenapa harus sekarang?! Kenapa saat kita berdua baru akan getting closer?”
M: “itu dia! It’s a call, say.”
P: “tapi… bukankah akan…”
M: [memutuskan kalimat] “akan apa?”
[tak ada sahutan]
M: “Pren, boleh gw kasih pandangan gw soal ini?” [tak ada sahutan lagi. Hanya hembusan nafas yang menandakan keberadaan orang di seberang sana] “It’s a call. Kenapa sekarang? Karena tidak akan ada kata nanti. Maksud gw, mungkin lo sekarang ngerasa sakit karena yang ‘menarik’ adalah pihak ketiga. Tapi, kalo gak ada pihak ketiga, siapa yang akan ambil keputusan? Kenapa sekarang pas kalian hampir mau getting closer? Karena akan lebih sulit ‘menarik’ sesuatu yang sudah terlalu amat menancap. Bukan?
P: “Iya!” [sedikit kesal] “Gw ngerti! Tapi gw gak bisa terima! Gw belom siap!”
M: “kapan lo siapnya say?” [tak ada sahutan lagi] “anyhow kalian akan kemana sih? Apa lo akan mempertahankan ini? Cinta memang bukan urusan logika. Tapi suka atau tidak, logika membuat lo bertahan untuk mencinta lagi. Bukankah ini lebih baik? Menjadi bahagia, tidak berarti menjadi egois bukan? Loe pernah bilang klo lo dan dia bagai ‘soulmate’. Lalu, apakah soulmate harus selalu menjadi pasangan hidup? Pertanyaannya lagi, apa loe siap menjalani hidup seperti ini? Bukankah rasanya sakit? Lo pun pernah jadi bagian dari kasus ini bukan?”
P: “hem…u-uhm…”
M: “Jadi, kalo loe tanya kenapa hal ini terjadi, gw cuman bisa bilang: It’s a Call. Tuhan terlalu sayang sama elo sehingga Beliau yang mengambilkan jalan keluar untuk masalah ini. Dia tahu, diantara kalian berdua, gak akan ada yang mau ambil solusi. Kalian berdua masih ingin terombang-ambing di tengah laut lepas. Pertanyaannya: sampai kapan? Gak takut mabok laut?”

[tak ada sahutan]
treek…
[terputus dan hanya menyisakan nada ‘tuuut’ panjang]

M: [menatap ponsel dan mendengus panjang] “sorry…”


_____________________________
sometimes, saat kita tak memiliki kemampuan untuk memutus tali keparat itu, ada kekuatan lain yang melakukannya untuk kita. Secara pribadi, gw menyebutnya: A Call.
Suatu pengingat kalau ada “sesuatu” dengan sambungan tali itu dan sooner (tanpa akhiran ‘or later’) harus diputus, agar tak ada hati yang terkoyak. Mungkin, itu suatu bentuk kasih sayang imajiner dari SANG PENCIPTA yang tak ingin melihat ciptaanNya merasakan sakit yang teramat sangat.

Pren, bersyukurlah…
maaf kalau mulut ini terlalu bebas mengutarakan apa yang terlintas dalam benak.
tapi memang begitulah adanya.
just think before you sink, okay?
I’m here.
Always be here anyway.

No comments:

Post a Comment